Mungkin anda pernah alami peristiwa ini. Saat mengendarai sepeda
motor di Yogya, saya berhenti lantaran lampu lalu lintas berganti merah.
Seketika saya dihampiri seorang wanita menggendong bayi, tangan kirinya
menggenggam botol berisi susu. Saya menerka susu itu dibuat tidak
sesuai takaran, karena warnanya yang relatif bening tapi putih. Kemudian
saya sodorkan uang sambil bertanya, “Ibu, bayinya diberi susu botol
ya?” Ibu itu hanya tersenyum sambil pindah ke pengendara motor lain.
Ibu itu hanya satu dari jutaan lainnya, karena 80 persen ibu-ibu
negeri ini menganggap pemberian susu formula suatu keharusan. Masif dan
memikatnya promosi susu formula lewat berbagai media beberapa dekade
ini, sangat berhasil meyakinkan masyarakat bahwa susu formula dapat
menggantikan Air Susu Ibu (ASI) sebagai kebutuhan nutrisi cair bayi
sampai dua tahun.
Keluarga prasejahtera bahkan miskin sekalipun banyak meninggalkan ASI
demi tercapainya anak idaman seperti divisualisasikan dalam iklan.
Model bayi imut yang cerdas, ceria dan gemuk, juga iming-iming manfaat
kesehatan fisik dan psikis, disajikan setiap waktu melalui televisi,
radio, poster, dan baliho. Tagline “Life Ready” yang asing bagi kita
ditayangkan dengan menarik. Seakan menanamkan pesan “minumlah susu ini
maka anak anda akan siap menghadapi hidup”.
Media sudah melakukan apa yang disebut Paul Jhonson sebagai distorsi
informasi (Jhonson, 1997:103), yaitu praktek penyimpangan dengan cara
mengurangi hal yang penting atau menambahkan hal yang tidak penting bagi
publik. Secara teknis hal ini sering dilakukan dengan modus pencampuran
antara fakta dan realitas. Dalam konteks ini, media ikut menghadirkan
kebutuhan palsu, seakan susu formula itu adalah kebutuhan, padahal
tidak.
Bisnis susu formula memang sangat menguntungkan. Pada tahun 2008 saja
keuntungannya US $ 11.5 milyar dan diproyeksikan akan meningkat sampai
37% pada 2013 ini hingga US $ 42,7 milyar, dan Indonesia menjadi salah
satu penyumbang paling besar sebanyak US $ 1.1 milyar. Dengan budget
yang
unlimited untuk promosi mereka sanggup membuat cara pandang
baru; bahwa ASI saja tidak cukup, bahwa menyusui tanpa tambahan susu
formula itu kurang, bahwa ASI dan susu formula itu sama saja. Berbanding
terbalik dengan promosi menyusui yang hanya disosialisasikan seadanya
tanpa kekuatan finansial dan visual yang menarik.
Sepertinya ini yang dimaksud Paul Jhonson dengan ‘Tujuh Dosa yang Mematikan’
(seven deadly sins) yang
dilakukan oleh media. Salah satunya dramatisasi fakta palsu. Praktek
penyimpangan ini bertumpu pada kekuatan narasi dari narator. Pilihan
kata hiperbolik menjadi teknik yang sering dipakai. Untuk menambah
dramatis intonasi narator menjadi penting. Dramatisasi menjadi lebih
berisi dan seakan adalah kebenaran saat dipadu dengan gambar animasi
atau ilustrasi. Umumnya industri televisi berkelit hal itu dilakukan
karena kekuatan media televisi terletak pada kekuatan gambar.
Imbas promosi mereka masif, tidak pandang bulu. Kaya, miskin, tua,
muda, ibu hamil, ibu menyusui, di kota ataupun di desa, semua
terjangkiti promosi mereka. Dampak buruknya ketika sebagian orang miskin
tidak mampu menyajikan susu formula sesuai anjuran – seperti
peminta-minta tadi – akan mengencerkan dan menyajikannya dengan botol
yang kebersihannya tidak dapat dijamin.
BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat)

Bantuan Langsung Sementara Masyarakat. foto: Tribunnews.com
Angka kemiskinan di Indonesia masih tinggi, pengentasan kemiskinan
menjadi program utama pemerintah setiap periodenya, baik pemerintah
pusat sampai daerah. Bahkan ketika harga BBM harus naik, pemerintah
bersedia menggelontorkan dana kompensasi yang mencapai Rp 11,6 triliun,
meski akhirnya dipotong menjadi Rp 9,32 triliun untuk empat bulan.
Dengan proyeksi Rp 150 ribu per keluarga setiap bulan selama 4 bulan
untuk 15,5 juta rumah tangga sasaran.
Bantuan itu sangat membantu bagi sebagian masyarakat, paling tidak
untuk beberapa bulan, tetapi saya melihat bahwa Indonesia sedang dijajah
informasi yang membuat rakyat dipaksa untuk miskin, atau mungkin
kebijakan-kebijakan negara ini diproyeksikan agar rakyatnya miskin.
Kebanyakan rakyat kita dipaksa membeli kebutuhan sekunder dan alternatif
menjadi kebutuhan primer, termasuk membeli susu formula.
Pertemuan dengan peminta-minta itu menggelitik saya. Malam harinya
saya bersama istri melakukan survei kecil harga susu formula di sebuah
toserba, dengan target susu bayi dengan label 0-6 bulan berukuran dos
400 gram. Kami temukan harganya berkisar Rp 30.300 sampai Rp.93.900.
Kebutuhan bayi 0-6 bulan kalau sesuai dengan takaran dalam pembuatannya
adalah 55 dos susu bubuk 400 gram perbulan.
Angka kelahiran bayi di Indonesia mencapai 4.5 juta bayi, dengan
angka kematian 37 per 1000 kelahiran hidup, artinya sekitar 4,35 juta
bayi hidup dan membutuhkan menyusui. Andai mereka semua meminum susu
formula dengan harga paling murah akan dibutuhkan uang Rp. 7,25 triliun,
sedangkan bila menggunakan susu yang dengan
packaging yang lebih
branded
Rp. 93.900 maka dibutuhkan Rp. 22,46 triliun. Kita dapat membandingkan
dengan BLSM yang digelontorkan pemerintah, Rp. 9,32 triliun?
Pikiran saya kembali ke peminta-minta itu atau keluarga prasejahtera
dan miskin. Apabila kebutuhan keluarga 55 dos susu formula dalam 6 bulan
dikalikan harga susu terendah saja Rp. 30.300, artinya dibutuhkan Rp.
1.666.500. BLSM yang hanya Rp. 600 ribu (untuk 4 bulan) perkeluarga
tidak akan dapat memenuhi kebutuhan susu formula selama 6 bulan, itu
belum dihitung dengan kebutuhan primer lain.
Saya meyakini menyusui atau ASI adalah satu-satunya nutrisi cair
mamalia apapun. Mendapat ASI adalah hak bayi, jika kita mendukung ibu
untuk menyusui, menolong bayi untuk mendapat makanan satu-satunya yang
tepat untuknya, maka berarti kita juga membantu keluarga secara
keseluruhan, dan membantu bangsa Indonesia untuk mendapat informasi yang
tepat dan merdeka dari penjajahan pemiskinan.