Thursday, July 01, 2004

Apakah Islam Menerima Sekularisme: Pengalaman Syiah

Jawaban terhadap pertanyaan tersebut adalah ya dan tidak. "Tidak" jika pertanyaan tersebut dijawab secara dogmatik, tetapi pengalaman sejarah Islam akan menjawab "Ya".

Banyak yang menuding bahwa sekularisme datang dari Barat. Teori ini tidak sepenuhnya benar. Memang betul, bahwa Eropa pernah mengalami konfrontasi panjang antara pendukung dan penentang supremasi gereja. Pada tahun 1618 pecah perang sipil di daratan Eropa selama 30 tahun antara kedua belah pihak tersebut, yang menghabiskan sepertiga populasi Eropa. Akar masalahnya sederhana: penemuan besar yang terjadi pada abad ke-16 dan 17 telah memunculkan supremasi akal (logos) atas wahyu (myths). Tiga serangkai astronom: Nicolaus Copernicus (1473-1543), Johannes Kepler (1571-1630) dan Galileo Galilei (1564-1642) menggebrak dominasi mitos gerejani yang menganggap bumi adalah pusat alam semesta. Ketiga orang ini secara telak mengajukan bukti empirik bahwa bumi bukanlah pusat semesta. Penemuan teleskop oleh Galileo telah menciptakan sensasi bagi benua Eropa; seluruh orang Eropa berlomba memiliki teleskop dan mengamati "surga" di langit yang sebelumnya dianggap tabu dan untouchable oleh gereja. Karen Armstrong (2001) mengistilahkan hal ini sebagai konflik antara Dunia Lama (gereja dan myths) dengan Dunia Baru (sains dan logos).

Sejarah sekularisme dalam Islam justru muncul jauh lebih awal dan lebih beragam, bukan hanya pertarungan antara Dunia Lama dan Baru. Akar sekularisme pertama dalam Islam muncul dari tradisi Syiah setelah pecahnya tragedi Karbala, yaitu pembantaian besar-besaran terhadap Imam Husain (Imam Ketiga Syiah) dan keluarganya oleh Khalifah Yazid bin Muawiyyah, pewaris tahta dinasti Umayyah (syahidnya Imam Husain sampai sekarang diperingati oleh kaum Syiah setiap bulan Asyura, diisi dengan acara penyiksaan diri dan maki-makian terhadap Yazid dan keluarga Umayyah).

Imam Ali (Imam Keempat, putra Imam Husain) dan Imam Muhammad (Imam Kelima, putra Imam Ali) menarik diri dari kancah politik dan kembali ke Madinah. Interaksi antara kaum Syiah dengan komunitas Kristen, Yahudi dan Zoroaster di Iraq telah memunculkan konsep "Imam yang tersembunyi"; kaum Syiah meyakini bahwa Imam Ali (Imam Pertama) dan Imam Husain (Imam Ketiga) tidaklah mati, tapi mereka hanya bersembunyi sampai satu hari nanti mereka akan kembali ke tengah-tengah pendukungnya dan membawa kemenangan. Konsep ini mirip dengan konsep Kristen tentang kebangkitan Yesus di akhir zaman yang akan datang sebagai Messiah (Juru Selamat).

Imam Ja'far as-Shadiq (Imam Keenam), belajar dari pengalaman bahwa setiap pembangkangan terhadap penguasa Sunni akan berakibat fatal terhadap eksistensi Syiah, menyatakan secara tegas bahwa perjuangan bersenjata adalah haram. Politik adalah haram untuk dimasuki oleh agama, dus sekularisme adalah mutlak diperlukan untuk menjamin keselamatan dan eksistensi ajaran Islam (Syiah). Imam terakhir Syiah, Imam Abu al-Qasim Muhammad (Imam Keduabelas) telah dimitoskan hilang, bersatu dengan Allah, sampai suatu saat ia akan kembali dan membawa kemenangan kepada Islam.

Dalam terminologi Syiah, "sekularisme" adalah reaksi atas penindasan yang dilakukan para khalifah Sunni. Sekularisme adalah bentuk perlindungan terhadap konsep-konsep dan ajaran Syiah. Secara dogmatik, teori sekularisme ala Syiah ini pun masih diperdebatkan di kalangan ulama Syiah sendiri. Imam Khomeini misalnya, dengan mengambil teladan syahidnya Imam Husain di tangan Yazid, ia berkesimpulan bahwa agama tidak bisa dipisahkan dari politik. Tetapi kalangan Syiah mayoritas berpendapat bahwa agama harus dijauhkan sejauh-jauhnya dari politik untuk melindungi eksistensi agama itu sendiri. Pendapat ini sampai sekarang masih dianut oleh imam besar Syiah saat ini yang berdomisili di Najaf (Iraq), Ayatollah Ali Sistani yang hingga sekarang tidak memerintahkan kaum Syiah Iraq untuk mengangkat senjata terhadap tentara pendudukan Amerika.

Diskursus sekularisme ala Syiah ini menyebabkan Imam Khomeini mengambil konsep "republik" untuk negara Islam Iran yang lahir dari Revolusi 1979. Ia samasekali tidak menyebut-nyebut konsep Imamat yang justru merupakan konsep genuine Syiah. Konstitusi Iran pun meniru Konstitusi Perancis 1958, tempat Khomeini menghabiskan tahun-tahun terakhirnya dalam pengasingan sebelum kembali ke Teheran. Di balik kegigigihannya menyeret balik politik dalam pelukan agama, Khomeini masih menganut pemahaman mayoritas kaum Syiah bahwa "Imamat" hanya akan berdiri ketika The Hidden Imam (Imam yang tersembunyi) kembali di masa yang akan datang.

No comments: