Showing posts with label Sebuah Catatan. Show all posts
Showing posts with label Sebuah Catatan. Show all posts

Thursday, December 10, 2015

Allah selalu ku nomor duakan ...


Duduk termenung dipinggir jalan, melihat orang berseliweran seperti tanpa ujung, banyak sekali yang melewati jalan ini. mulai dari mobil, motor sampai sepeda ontel. mereka bak silih berganti menunjukan dan mengajari sebuah nama. Ini nama mobil  tipe ini, merk anu, ini motor anu merk ini dengan sekian CC. ini sepeda ontel beroda dua bermerk itu.

Sedangkan aku duduk tanpa memiliki apapun, berharap jika aku dapat memiliki salah satu diantara ratusan kendaraan itu. karena dorongan itulah aku berusaha untuk memilikinya, Allah kabulkan untuk ku miliki salah satu jenis motor, bagus, 135CC, cukup untuk melaju dengan kecepatan 120 KM/jam jika mata dan keberanian masih sanggup untuk terus menggeber motor ini.

Tapi di hari dimana aku memiliki motor maka pandangan mataku tidak lagi fokus pada motor, tapi pada mobil. Mobil-mobil itu seakan melambai dan menunjukan kenyamanannya, apalagi musim hujan mulai perlahan datang, nyaman dengan AC yang membuat pengemudinya tidak kepanasan jika panas, dan tetap nyaman meski hujan lebat melanda. sungguh satu kenikmatan yang ingin ku raih.

Yaa begitulah dunia, ketika tidak memilikinya, maka akan aku kejar agar memilikinya, setelah itu aku akan fokus pada jenis lain agar kenyamanan, kenikmatan dan kesenangan yang sbenarnya sudah terpenuhi menjadi lebih meningkat. lalu aku akan berusaha dengan berbagai cara untuk memilikinya, lalu ingin lagi, ingin lagi yang lain, lagi, lagi, lagi dan lagi.. lebih banyak, lebih mewah, lebih keren, lebih lebih lebih dan lebih lagi..

Berapapun ongkosnya, sebesar apapun tenaga yang diperlukan, semua akan ku berikan dengan sukarela asalkan kesenangan duniawi itu dapat ku raih, bahkan aku akan rela memperbudak diri untuk menggapainya, karena alasanku pun jelas kok, "orang Islam harus kaya kan" lagian "kalau gak bgini kapan kita akan punya?". suatu hari aku membuka obrolan dengan sang hati.

"Wah kamu sepertinya sedang terobsesi sesuatu ya? tapi apakah kau tau bahwa harta itu akan menjadi fitnah bagimu?" bisik hatiku .. "tentu tau, aku tau membelanjakan hartaku kemana", jawabku mantap. "tapi bukannya kamu sudah cukup, kemana-mana kamu mudah, motormu itu masih kinclong dan bensin tidak pernah kosong, di dompetmu juga selalu terselip uang yang cukup untuk dapat kau makan dengan kenyang 3 x sehari bahkan lebih, kamu hidup di kota, kamu memiliki akses pada banyak pihak, kamu relatif dihormati, kamu memiliki istri yang baik dan berbakti padamu, kamu punya rumah dan isinya yang bagus". jawab sang hati yang mulai mengangkat suara lebih keras. "tapi aku tidak nyaman, aku bosan dengan motor yang sudah ku miliki 7 tahun lalu, sekarang sudah gk jaman motor seperti ini, orang lain sudah punya mobil, aku belum". terangku dengan suara yang mulai meninggi..

"tapi untuk kehidupanmu sekarang, apakah kamu merasa cukup?" hatiku melembut "yaa memang cukup", ikut melembut. "lalu kenapa kamu lebih memilih memperbanyak harta dari pada memperbanyak berbakti pada Allah? kamu kan tau bahwa harta itu batasannya sampai pada cukup, bukan banyak atau berlimpah, dan kita sepakat kamu sudah cukup. Ingat, kata 'banyak' dalam al-Quran itu khusus untuk dzikir pada Allah. bukankah berarti sebaiknya kamu memilih untuk banyak dzikir dari pada banyak harta?" beber sang hati dengan lembut.. "aku tau itu" jawabku sinis ..

"memangnya kamu akan hidup berapa lama?"
"itu rahasia Allah" ketusku
"artinya, kamu harus menyiapkan untuk mati yang akan datang tiba-tiba dari pd untuk dunia?" nasihat sang hati dengan lembut.

"tapi tidak salah kan jika aku kaya, lalu menjadi orang yang gemar shodakoh, menolong orang dengan hartaku, membantu masjid, membantu orang miskin, itu semua akan jadi bekal akhiratku kan?" aku mulai memaparkan visi dari kekayaanku..

sang hati hanya tersenyum, dan pelan-pelan dia menatapku dalam sampai-sampai aku ta sanggup menatapnya .. aku hanya tertunduk.. "jika memang itu tujuan hartamu, maka latih dari sekarang sebelum kamu diuji dengan kecukupan.. artinya, kalau dunia memanggil kamu dan kamu berlari menuju kepadanya, kamu harus naik motor jika Allah yang memanggilmu. Jika untuk dapat uang kamu segerakan, maka kamu harus siap setengah jam lbh dahulu sebelum adzan berkumandang memanggilmu, apakah kamu sudah seperti itu?'

aku hanya menggeleng..

"berarti kamu masih 'menomor duakan' Allah, jadi jangan pernah berharap kamu akan dinomor satukan oleh Allah .." lanjut hati sambil menepuk pundakku..

"ingat, rasa kekurangan itu tak ada ujungnya, cinta pada kehidupan dunia tak pernah kenyang, tapi itu semua 'api' yang sewaktu-waktu akan menghanguskanmu, karena itu bisikan nafsu lambang dari kebodohanmu". tegas hati..

"harusnya, hanya kepada Allah kamu selalu kurang. hatimu belingsatan karena rindu berat pada-Nya. kepada cinta Allah kamu harus selalu lapar, kalau sudah bgitu maka berapapun ongkos untuk mencapai ridho-Nya kamu akan banyar dengan sukarela".

"lalu aku dapat apa?" masih ngeyel..

"kamu akan dapat dunia dan akherat beserta isinya". tutup sang hati..

‪#‎terinspirasiemha‬ ‪#‎sebuahcatatan‬ ‪#‎emhaainunnajib‬ ‪#‎mindspirit‬ ‪#‎wasugi‬ ‪#‎jamaahjakal‬

Tuesday, May 27, 2014

Karena memang kita ini hamba Allah...

Hari ini Jogja relatif lebih lengang, mungkin karena hari kejepit nasional, atau mungkin karena cuaca agak panas jadi para pemotor memilih diam di rumah, atau karena liburan sesungguhnya baru akan jatuh kamis (29/5) jadi hari ini ngerjain tugas kantor/kuliah, agar jumat bisa mbolos. Haha..

Berjalan santai bersama Istri memang selalu menyenangkan, meskipun setiap keluar rumah kami tidak pernah memiliki tujuan pasti, yang penting kami berjalan keluar besama menikmati Jogja yang semakin hari semakin padat, dan sawah adalah destinasi paling menarik, aku selalu takjub melihat sawah, meski aku dilahirkan di pinggir sawah juga sih.. hahaha. Mungkin karena itulah kedekatakan pada sawah selalu menyenangkan.

Manusia memang diciptakan untuk merasakan ketenangan dengan apa yang dirasakan, tak penting apa itu? bahkan hanya dengan sesuatu yang remeh temeh.  Kesenangan itu ibarat bius yang membuat kita terbuai jauh melayang, rasanya tidak bisa terlukiskan oleh kata-kata, apalagi tulisan blog. Tetapi kadang itu memperbudak dan membuat kita lupa bahwa di samping sawah itu ada sungai yang mungkin lebih indah jika mau ku palingkan sedikit penglihatanku..

Yaa sawah.. mungkin aku memang terlalu ortodok untuk menjadikan sawah tempat favorit, jauh disana banyak juga yang diperbudak oleh sesuatu hal yang jauh lebih modern, seperti gadget. Android yang sudah menjadi software open source terfavorit di dunia menjadi dewa baru dan kita tidak segan untuk menghamba padanya. Dulu kita mengenal Nokia sebagai HP sejuta umat, dengan nada dering yang pasti lekat di telinga kita.

Setelah HP dengan sms itu lengser, digantikan oleh Blackberyy, tidak lama menjabat kudeta android pun datang, maka jabatan dewa gadget di gantikan oleh android. Tidak sulit untuk melihat hamba-hamba dan pengikut mereka, cukup kita main ke lampu merah, jika lampu merah menyala, maka kita akan melihat hamba-hamba android mulai merogoh sakunya, lalu membacanya. Tidak sedikit diantara mereka yang tersenyum ketika melihat gadgetnya. Ntah apa dia sadar atau tidak bahwa di samping sawah itu ada sungai lho.. nengoook dong. Hehe.

Tidak cukup saat lampu merah menyala, ketika lampu hijau giliran menyala sekalipun, penumpang motor yang tadi tersenyum tetap menggenggam HP dan melihatnya sambil menjalankan motor. Sungguh unik sekali hamba android ini.

Sungguh ironi memang, kita lebih mementingkan orang yang tidak terlihat daripada kiri kanan kita. Kita lupa bahwa pengguna jalan itu tidak sendirian, dan bahwa konsentrasi saat mengendarai kendaraan bermotor itu jauh lebih penting dari pada penghambaan pada android. Cerita tragis pemotor yang kecelakaan karena menggunakan gadget di jalan bukanlah hal baru, gadget bisa menjadi pencabut nyawa ketika kita menghamba dengan berlebih.

Andai keasyikan kita memainakan android itu kita implementasikan dalam penghambaan kepada Allah. Saat akan sholat, misalnya, kita tersenyum dan menunduk dengan bangga. Lalu ketika ada orang lain lewat kita menjadi acuh, tidak peduli, karena dalam diri kita hanya ada Allah, dimana kita asyik bercengkrama dengan-Nya, menyebut nama-Nya, memohon pada-Nya dan merasakan kehadiran-Nya, mungkin itu yang namanya khusyu’.

Karena sesungguhnya kita ini hamba Allah, bukan hamba android atau sawah..

Monday, May 26, 2014

ASI Eksklusif dan Lemahnya Visi BLSM

Mungkin anda pernah alami peristiwa ini. Saat mengendarai sepeda motor di Yogya, saya berhenti lantaran lampu lalu lintas berganti merah. Seketika saya dihampiri seorang wanita menggendong bayi, tangan kirinya menggenggam botol berisi susu. Saya menerka susu itu dibuat tidak sesuai takaran, karena warnanya yang relatif bening tapi putih. Kemudian saya sodorkan uang sambil bertanya, “Ibu, bayinya diberi susu botol ya?” Ibu itu hanya tersenyum sambil pindah ke pengendara motor lain.

Ibu itu hanya satu dari jutaan lainnya, karena 80 persen ibu-ibu negeri ini menganggap pemberian susu formula suatu keharusan. Masif dan memikatnya promosi susu formula lewat berbagai media beberapa dekade ini, sangat berhasil meyakinkan masyarakat bahwa susu formula dapat menggantikan Air Susu Ibu (ASI) sebagai kebutuhan nutrisi cair bayi sampai dua tahun.

Keluarga prasejahtera bahkan miskin sekalipun banyak meninggalkan ASI demi tercapainya anak idaman seperti divisualisasikan dalam iklan. Model bayi imut yang cerdas, ceria dan gemuk, juga iming-iming manfaat kesehatan fisik dan psikis, disajikan setiap waktu melalui televisi, radio, poster, dan baliho. Tagline “Life Ready” yang asing bagi kita ditayangkan dengan menarik. Seakan menanamkan pesan “minumlah susu ini maka anak anda akan siap menghadapi hidup”.

Media sudah melakukan apa yang disebut Paul Jhonson sebagai distorsi informasi (Jhonson, 1997:103), yaitu praktek penyimpangan dengan cara mengurangi hal yang penting atau menambahkan hal yang tidak penting bagi publik. Secara teknis hal ini sering dilakukan dengan modus pencampuran antara fakta dan realitas. Dalam konteks ini, media ikut menghadirkan kebutuhan palsu, seakan susu formula itu adalah kebutuhan, padahal tidak.

Bisnis susu formula memang sangat menguntungkan. Pada tahun 2008 saja keuntungannya US $ 11.5 milyar dan diproyeksikan akan meningkat sampai 37% pada 2013 ini hingga US $ 42,7 milyar, dan Indonesia menjadi salah satu penyumbang paling besar sebanyak US $ 1.1 milyar. Dengan budget yang unlimited untuk promosi mereka sanggup membuat cara pandang baru; bahwa ASI saja tidak cukup, bahwa menyusui tanpa tambahan susu formula itu kurang, bahwa ASI dan susu formula itu sama saja. Berbanding terbalik dengan promosi menyusui yang hanya disosialisasikan seadanya tanpa kekuatan finansial dan visual yang menarik.

Sepertinya ini yang dimaksud Paul Jhonson dengan ‘Tujuh Dosa yang Mematikan’ (seven deadly sins) yang dilakukan oleh media. Salah satunya dramatisasi fakta palsu. Praktek penyimpangan ini bertumpu pada kekuatan narasi dari narator. Pilihan kata hiperbolik menjadi teknik yang sering dipakai. Untuk menambah dramatis intonasi narator menjadi penting. Dramatisasi menjadi lebih berisi dan seakan adalah kebenaran saat dipadu dengan gambar animasi atau ilustrasi. Umumnya industri televisi berkelit hal itu dilakukan karena kekuatan media televisi terletak pada kekuatan gambar.

Imbas promosi mereka masif, tidak pandang bulu. Kaya, miskin, tua, muda, ibu hamil, ibu menyusui, di kota ataupun di desa, semua terjangkiti promosi mereka. Dampak buruknya ketika sebagian orang miskin tidak mampu menyajikan susu formula sesuai anjuran – seperti peminta-minta tadi – akan mengencerkan dan menyajikannya dengan botol yang kebersihannya tidak dapat dijamin.
BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat)
Bantuan Langsung Sementara Masyarakat. foto: Tribunnews.com
Bantuan Langsung Sementara Masyarakat. foto: Tribunnews.com

Angka kemiskinan di Indonesia masih tinggi, pengentasan kemiskinan menjadi program utama pemerintah setiap periodenya, baik pemerintah pusat sampai daerah. Bahkan ketika harga BBM harus naik, pemerintah bersedia menggelontorkan dana kompensasi yang mencapai Rp 11,6 triliun, meski akhirnya dipotong menjadi Rp 9,32 triliun untuk empat bulan. Dengan proyeksi Rp 150 ribu per keluarga setiap bulan selama 4 bulan untuk 15,5 juta rumah tangga sasaran.

Bantuan itu sangat membantu bagi sebagian masyarakat, paling tidak untuk beberapa bulan, tetapi saya melihat bahwa Indonesia sedang dijajah informasi yang membuat rakyat dipaksa untuk miskin, atau mungkin kebijakan-kebijakan negara ini diproyeksikan agar rakyatnya miskin. Kebanyakan rakyat kita dipaksa membeli kebutuhan sekunder dan alternatif menjadi kebutuhan primer, termasuk membeli susu formula.

Pertemuan dengan peminta-minta itu menggelitik saya. Malam harinya saya bersama istri melakukan survei kecil harga susu formula di sebuah toserba, dengan target susu bayi dengan label 0-6 bulan berukuran dos 400 gram. Kami temukan harganya berkisar Rp 30.300 sampai Rp.93.900. Kebutuhan bayi 0-6 bulan kalau sesuai dengan takaran dalam pembuatannya adalah 55 dos susu bubuk 400 gram perbulan.

Angka kelahiran bayi di Indonesia mencapai 4.5 juta bayi, dengan angka kematian 37 per 1000 kelahiran hidup, artinya sekitar 4,35 juta bayi hidup dan membutuhkan menyusui. Andai mereka semua meminum susu formula dengan harga paling murah akan dibutuhkan uang Rp. 7,25 triliun, sedangkan bila menggunakan susu yang dengan packaging yang lebih branded Rp. 93.900 maka dibutuhkan Rp. 22,46 triliun. Kita dapat membandingkan dengan BLSM yang digelontorkan pemerintah, Rp. 9,32 triliun?

Pikiran saya kembali ke peminta-minta itu atau keluarga prasejahtera dan miskin. Apabila kebutuhan keluarga 55 dos susu formula dalam 6 bulan dikalikan harga susu terendah saja Rp. 30.300, artinya dibutuhkan Rp. 1.666.500. BLSM yang hanya Rp. 600 ribu (untuk 4 bulan) perkeluarga tidak akan dapat memenuhi kebutuhan susu formula selama 6 bulan, itu belum dihitung dengan kebutuhan primer lain.

Saya meyakini menyusui atau ASI adalah satu-satunya nutrisi cair mamalia apapun. Mendapat ASI adalah hak bayi, jika kita mendukung ibu untuk menyusui, menolong bayi untuk mendapat makanan satu-satunya yang tepat untuknya, maka berarti kita juga membantu keluarga secara keseluruhan, dan membantu bangsa Indonesia untuk mendapat informasi yang tepat dan merdeka dari penjajahan pemiskinan.

Friday, September 16, 2011

The Power of Niat

Pagi ini masuk agak telat, tapi beruntung pas ceklok absen ternyata tidak berwarna merah, jadi belum telat selama cetakannya masih berwarna hitam, hehe. masuk ruangan dan hal yg pertama aku buka adalah email yahoo, dan facebook. seperti biasa banyak status baru yg biasa saja. tetapi ada satu status yg menarik yaitu statusnya Suhardiansyah, dia temenku waktu di Gontor dan juga di Kairo dulu. dari dulu memang anak ini pinter, nyeleneh tapi rasional, santai tapi dalem kata-katanya, gw suka gaya lo, he.. Status dia adalah:
suatu ketika syeikh Hamdun an-NIsaburi ditanya:"Mengapa omongan ulama terdahulu lebih bermanfaat dari omongan kita?" jawab beliau: "Karena mereka bicara untuk kemuliaan islam, keselamatan jiwa dan ridho Allah. sedangkan kita bicara untuk kemuliaan jiwa, mencari harta dunia dan agar orang lain menyakini kita benar". (thabaqat S) Allahummah dina bihudahum ilaika ya Rabb

Ini status sangat dalam, tapi kalau boleh menggaris bawahinya bahwa ternyata niat mampu mengantarkan manusia mencapai targetnya, mengantarkan power atas apa yg dibicarakannya, menjadikan nada bicaranya seperti memiliki ruh yang mampu mensugesti orang lain, bukan karena retorika dan paparan ilmiah yang membuatnya berbusa-busa untuk menyimpulkan satu dua kata yang simple. Niat secara otomatis juga mensugesti dirinya sendiri, menjadikan fisik, akal, dan jiwanya sinergi. yang timbul hanya semangat, bekerja keras, dan tawakal. Meski memang pertanyaannya "niat seperti apa?" kita tidak pernah tau apa yg ada dalam diri kita, tetapi mari mulai menanyakan pada diri kita sendiri tentang apa target hidup, atau kita malah takut untuk jujur pada diri kita sendiri tentang tujuan kita. Ketika tujuan tidak ada, maka niatpun tidaklah ada, dan ketika itu kita sudah kehilangan sebagian dari ruh hidup kita. naudzu billah ..