Monday, May 26, 2014

ASI Eksklusif dan Lemahnya Visi BLSM

Mungkin anda pernah alami peristiwa ini. Saat mengendarai sepeda motor di Yogya, saya berhenti lantaran lampu lalu lintas berganti merah. Seketika saya dihampiri seorang wanita menggendong bayi, tangan kirinya menggenggam botol berisi susu. Saya menerka susu itu dibuat tidak sesuai takaran, karena warnanya yang relatif bening tapi putih. Kemudian saya sodorkan uang sambil bertanya, “Ibu, bayinya diberi susu botol ya?” Ibu itu hanya tersenyum sambil pindah ke pengendara motor lain.

Ibu itu hanya satu dari jutaan lainnya, karena 80 persen ibu-ibu negeri ini menganggap pemberian susu formula suatu keharusan. Masif dan memikatnya promosi susu formula lewat berbagai media beberapa dekade ini, sangat berhasil meyakinkan masyarakat bahwa susu formula dapat menggantikan Air Susu Ibu (ASI) sebagai kebutuhan nutrisi cair bayi sampai dua tahun.

Keluarga prasejahtera bahkan miskin sekalipun banyak meninggalkan ASI demi tercapainya anak idaman seperti divisualisasikan dalam iklan. Model bayi imut yang cerdas, ceria dan gemuk, juga iming-iming manfaat kesehatan fisik dan psikis, disajikan setiap waktu melalui televisi, radio, poster, dan baliho. Tagline “Life Ready” yang asing bagi kita ditayangkan dengan menarik. Seakan menanamkan pesan “minumlah susu ini maka anak anda akan siap menghadapi hidup”.

Media sudah melakukan apa yang disebut Paul Jhonson sebagai distorsi informasi (Jhonson, 1997:103), yaitu praktek penyimpangan dengan cara mengurangi hal yang penting atau menambahkan hal yang tidak penting bagi publik. Secara teknis hal ini sering dilakukan dengan modus pencampuran antara fakta dan realitas. Dalam konteks ini, media ikut menghadirkan kebutuhan palsu, seakan susu formula itu adalah kebutuhan, padahal tidak.

Bisnis susu formula memang sangat menguntungkan. Pada tahun 2008 saja keuntungannya US $ 11.5 milyar dan diproyeksikan akan meningkat sampai 37% pada 2013 ini hingga US $ 42,7 milyar, dan Indonesia menjadi salah satu penyumbang paling besar sebanyak US $ 1.1 milyar. Dengan budget yang unlimited untuk promosi mereka sanggup membuat cara pandang baru; bahwa ASI saja tidak cukup, bahwa menyusui tanpa tambahan susu formula itu kurang, bahwa ASI dan susu formula itu sama saja. Berbanding terbalik dengan promosi menyusui yang hanya disosialisasikan seadanya tanpa kekuatan finansial dan visual yang menarik.

Sepertinya ini yang dimaksud Paul Jhonson dengan ‘Tujuh Dosa yang Mematikan’ (seven deadly sins) yang dilakukan oleh media. Salah satunya dramatisasi fakta palsu. Praktek penyimpangan ini bertumpu pada kekuatan narasi dari narator. Pilihan kata hiperbolik menjadi teknik yang sering dipakai. Untuk menambah dramatis intonasi narator menjadi penting. Dramatisasi menjadi lebih berisi dan seakan adalah kebenaran saat dipadu dengan gambar animasi atau ilustrasi. Umumnya industri televisi berkelit hal itu dilakukan karena kekuatan media televisi terletak pada kekuatan gambar.

Imbas promosi mereka masif, tidak pandang bulu. Kaya, miskin, tua, muda, ibu hamil, ibu menyusui, di kota ataupun di desa, semua terjangkiti promosi mereka. Dampak buruknya ketika sebagian orang miskin tidak mampu menyajikan susu formula sesuai anjuran – seperti peminta-minta tadi – akan mengencerkan dan menyajikannya dengan botol yang kebersihannya tidak dapat dijamin.
BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat)
Bantuan Langsung Sementara Masyarakat. foto: Tribunnews.com
Bantuan Langsung Sementara Masyarakat. foto: Tribunnews.com

Angka kemiskinan di Indonesia masih tinggi, pengentasan kemiskinan menjadi program utama pemerintah setiap periodenya, baik pemerintah pusat sampai daerah. Bahkan ketika harga BBM harus naik, pemerintah bersedia menggelontorkan dana kompensasi yang mencapai Rp 11,6 triliun, meski akhirnya dipotong menjadi Rp 9,32 triliun untuk empat bulan. Dengan proyeksi Rp 150 ribu per keluarga setiap bulan selama 4 bulan untuk 15,5 juta rumah tangga sasaran.

Bantuan itu sangat membantu bagi sebagian masyarakat, paling tidak untuk beberapa bulan, tetapi saya melihat bahwa Indonesia sedang dijajah informasi yang membuat rakyat dipaksa untuk miskin, atau mungkin kebijakan-kebijakan negara ini diproyeksikan agar rakyatnya miskin. Kebanyakan rakyat kita dipaksa membeli kebutuhan sekunder dan alternatif menjadi kebutuhan primer, termasuk membeli susu formula.

Pertemuan dengan peminta-minta itu menggelitik saya. Malam harinya saya bersama istri melakukan survei kecil harga susu formula di sebuah toserba, dengan target susu bayi dengan label 0-6 bulan berukuran dos 400 gram. Kami temukan harganya berkisar Rp 30.300 sampai Rp.93.900. Kebutuhan bayi 0-6 bulan kalau sesuai dengan takaran dalam pembuatannya adalah 55 dos susu bubuk 400 gram perbulan.

Angka kelahiran bayi di Indonesia mencapai 4.5 juta bayi, dengan angka kematian 37 per 1000 kelahiran hidup, artinya sekitar 4,35 juta bayi hidup dan membutuhkan menyusui. Andai mereka semua meminum susu formula dengan harga paling murah akan dibutuhkan uang Rp. 7,25 triliun, sedangkan bila menggunakan susu yang dengan packaging yang lebih branded Rp. 93.900 maka dibutuhkan Rp. 22,46 triliun. Kita dapat membandingkan dengan BLSM yang digelontorkan pemerintah, Rp. 9,32 triliun?

Pikiran saya kembali ke peminta-minta itu atau keluarga prasejahtera dan miskin. Apabila kebutuhan keluarga 55 dos susu formula dalam 6 bulan dikalikan harga susu terendah saja Rp. 30.300, artinya dibutuhkan Rp. 1.666.500. BLSM yang hanya Rp. 600 ribu (untuk 4 bulan) perkeluarga tidak akan dapat memenuhi kebutuhan susu formula selama 6 bulan, itu belum dihitung dengan kebutuhan primer lain.

Saya meyakini menyusui atau ASI adalah satu-satunya nutrisi cair mamalia apapun. Mendapat ASI adalah hak bayi, jika kita mendukung ibu untuk menyusui, menolong bayi untuk mendapat makanan satu-satunya yang tepat untuknya, maka berarti kita juga membantu keluarga secara keseluruhan, dan membantu bangsa Indonesia untuk mendapat informasi yang tepat dan merdeka dari penjajahan pemiskinan.

No comments: