Showing posts with label menyusui. Show all posts
Showing posts with label menyusui. Show all posts

Monday, March 18, 2019

Susu bukan segalanya

Ini ilustrasi dari makanan dengan 4 bintang
Dari pengamangatan intejen mengatakan bahwa, gencarnya iklan susu ternyata berdampak pada paradigma emak-emak dan orang tua zaman now menganggap susu adalah segalanya, anak gk mau makan di kasih susu, bereess. ada juga pemikiran "agar anak sehat harus dikasih susu," sehari segelas sama dengan makan 1 piring lengkap dengand daging, sayur, buah dan lain-lainnya.. hebat sekali susu ini.. kata iklaaann.. ðŸ˜ŽðŸ˜Ž

Padahal kita semua mengetahui bahwa semua mahluk mamalia termasuk manusia memiliki fase mendapatkan nutrisi cair dari susu, tapi hanya ada satu susu yang tepat untuk mereka, yaitu Air Susu Ibunya masing-masing. sampai pada masa dimana mahluk mamalia harus disapih, setelah itu asupan nutrisinya melalui makan, atau nutrisi padat.

Siklus menyusui pada manusia yaitu 0-6 bulan ASI Ekslusif alias ASI thok, hanya ASI saja, the one and only. Baru setelah 6 bulan bayi mulai diberi makanan padat dengan tetapi tetap disusui sampai usia bayi 2 tahun. setelah itu disapih. Baru fase berikutnya adalah fase dimana manusia membutuhkan makan, makanan bervariasi dengan 4 bintang, bahasa kerennya gizi seimbang. katanya ahli gizi..(lihat pd gambar tentang makanan dengan 4 bintang)

Fase seperti ini sebenarnya tidak hanya terjadi pada manusia, tetapi semua mahluk mamalia yang hidup secara alami, tengok lah sapi, kerbau, dan lain-lain, setelah fase menyusui selesai maka dia makan, tidak pernah kita melihat sapi dewasa menyusu ke ibunya, bahkan kalau pun dia sapi berjenis kelamin jantan, #ehhh..


Tetapi kita sudah kadung dicekoki doktrin 4 sehat 5 sempurna selama berabad-abad, eh bertahun-tahun, maksudnya, hehe.. sehingga merubah paradigma "susu penting bagi manusia, dari lahir sehingga lansia" memang agak susah. 

Bertahun-tahun sudah, propaganda 4 sehat 5 sempurna dihapuskan, tetapi sampai detik ini masih banyak yang tidak tahu, entah kenapa.. Padahal jargon gizi yang sekarang ada adalah makan bener, yaitu makan dengan gizi seimbang. Ketika anak adam mulai menginjak tepat 6 bulan, disarankan makan makanan dengan 4 bintang, yaitu terdiri dari makanan pokok, protein hewani, kacang-kacangan, juga buah dan sayur. keempatnya itu ada dalam tiap porsi makanan.

Ada beberapa hal kenapa susu formula tidak perlu lagi untuk kita konsumsi; pertama, dalam susu ada satu gula husus yang ada hanya di susu, gula itu bernama LAKTOSA, gula susu ini hanya dapat dicerna jika ada satu enzim bernama LAKTOSE, enzim percerna ini kadang tidak diproduksi dalam tubuh manusia kecuali pada beberapa kelompok atau tempat yang sudah mutasi genetis.

Jika tidak ada enzim percernannya, maka laktosa itu tidak bisa dicerna tubuh, sehingga membahayakan kesehatan anak karena cukup tingginya prevalensi intoleransi laktosa akibat konsumsi susu di kalangan anak usia sekolah di Indonesia (copas dari GKIA)

Lalu apa bedanya dengan ASI? ASI juga kan susu, berarti gulanya juga laktosa?

Pertanyaan bagus, (entah siapa yg nanya, haha), hebatnya ASI, selain membawa zat-zat yang dibutuhkan manusia, ASI membawa serta zat pencernanya, alias enzimnya. Maka Bayi yang disusui tidak intoleransi laktosa susu ibunya, karena ASI membawa serta enzimnya yang membuat bayi dapat mencerna laktosa dengan baik..

Kedua, susu formula juga mengandung alergen yang meningkatkan risiko alergi, dan serta risiko kontaminasi susu yang tidak ditangani dan disimpan secara tepat yang berdampak pada kejadian penyakit yang dihantarkan melalui makanan. (copas dari GKIA).


Jadi setelah disapih manusia gk butuh susu?

Betuul sekali, tidak membutuhkannya.. manusia setelah itu butuh makaan makaan makaan.. selayaknya mahluk mamalia lain..

Trus apa lagi?

Udah gitu aja, mohon dikoreksi kalau salah..

wasugi

Saturday, March 09, 2019

Bagaimana Saya Terjun di Dunia Menyusui (3) : Perkenalan yang Membuat Saya Jantungan

Illustrasi
Sebagian orang mulai sibuk memposisikan dirinya masing-masing di kursi yang ada mejanya itu. Suara berisik kursi ditarik, gelak tawa, peluk cium dan suara obrolan riuh tidak jelas, pertanda ruangan mulai penuh diisi peserta. Saya yang mengambil posisi di belakang, bisa memperhatikan mereka semua dengan tenang, sesekali memberi anggukan dan senyuman kala pandangan mata "bertabrakan" dengan peserta lain.

Di luar ruangan saya masih dapat melihat ada beberapa orang yang masih asik ngobrol. Mereka santai sekali, meski jam sudah menunjukan pukul 07.55 WIB, kalau kata Ocha benar maka harusnya jam 08.00 pelatihan akan dimulai itu artinya tinggal 5 menit lagi.

Tiba-tiba pandangan saya tertuju kepada seorang wanita yang duduk di samping tembok dekat pintu, wanita berhijab itu sedang serius membaca buku tebal, cukup tebal dan besar untuk ukuran buku, kalau dibandingkan dengan buku pelajaran filsafat saya waktu di Kairo sepertinya buku itu jauh lebih tebal. Jarang sekali ada buku ukuran A4. Covernya berwarna biru dari "tampangnya" buku itu tidak dicetak massal tetapi hasil fotokopian biasa, indikatornya terlihat jelas dari ukuran, jenis kertasnya juga seperti bukan book paper yang biasa dipakai percetakan.

Pandangan saya menuju sudut depan, ada dua orang perempuan sedang berbicara, mereka tidak saling berbisik, tetapi tidak cukup keras untuk dapat saya dengar dari belakang. Sesekali mata mereka melirik ke arah peserta, sepertinya mereka sedang merencanakan sesuatu. Beberapa kali mulutnya komat-kamit seperti menghitung, satu, dua, tiga, dan seterusnya, mungkin sedang menghitung jumlah peserta. Saya sendiri tidak tahu berapa jumlah peserta yang akan hadir.

Tiba-tiba datang dari luar seorang perempuan paruh baya tetapi terlihat sangat energik, suara sepatu hak tingginya terdengar nyaring ketika berjalan cepat menuju ruang kelas. Bajunya berwarna merah dibalut rompi warna hitam, dipadu celana panjang yang serasi dengan rompinya. Wah ini sepertinya boss-nya.

"Selamat pagi teman-teman" ibu itu menyapa ramah ketika memasuki kelas, suaranya agak serak dan "ngebas." "Pagi, dokter," jawab beberapa orang yang sepertinya sudah saling mengenal, beberapa diantara mereka berdiri dan memberi pelukan hangat, lalu cium pipi kanan dan kiri alias cipika, cipiki. Sedang saya hanya melongo. Karena pertama, saya tidak terbiasa disapa atau menyapa "selamat pagi" selama saya di pesantren kemudian ke Kairo saya biasa saling menyapa dengan "Assalamu'alaikum," kedua, saya bingung kok ada dokter ikut pelatihan ini atau mengadakan pelatihan seperti ini?

"Hallo, saya Utami Roesli, saya seorang dokter spesialis Anak di RS Sint Carolus. Saya ketua umum Sentra Laktasi Indonesia" dokter itu langsung memulai pembicaraannya.

"Kita akan bersama-sama berlatih konseling laktasi selama 6 hari, karena ini crash program, jadi sampai hari sabtu. sebelum kita mulai, apa ada yang belum hadir?" tanya dokter Utami, saya kembali teringat, Ocha mana Ocha, dan ternyata benar, "Teman kami Ocha belum hadir, dokter," kata seorang perempuan berhijab kuning menjawab pertanyaan dokter Utami.

"Baik sambil menunggu yang lain, karena ini sudah jam delapan lebih kita mulai saja perkenalan, silahkan sebutkan nama lengkap, kenapa orang tua teman-teman memberi nama itu, asal dari mana dan latar belakang pendidikannya apa" papar dr. Utami memberi instruksi.

Mulailah satu persatu setiap peserta berdiri sambil untuk sesi perkenalan, sesuai dengan instruksi dr. Utami Roesli

"Saya Minessa Mahardika, biasa dipanggil Chacha dari Kedokteran Gigi UI. Min artinya kurang, Esa artinya satu, Mahardika artinya kemerdekaan, saya diberi nama Minessa karena saya lahir 16 Agustus, artinya min satu menuju hari kemerdekaan," tawa kecil mulai menyeringai, hehe.

Dilanjut kemudian "Saya Dedi Setiawan, Kedokteran Gigi, UI," "Saya Wigiarti, Kedokteran Gigi UI," "Saya Nurul Narita, biasa dipanggil Inong, Kedokteran Gigi UI," "Saya Nyoman Sylvi, Kedokteran Gigi UI,". " .... saya Dokter Umum," "... Saya perawat dari Makassar," ".. Saya Bidan dari Makassar,". ".. saya Ahli Gizi dari Poltekkes Makassar,"

Mendengar mereka kenalan, lidah saya tiba-tiba menjadi kelu, jantung deg-degan seperti bingung dan jiper aja. Saya berharap janganlah datang giliran memperkenalkan diri. "Berarti yang bener Ipeh, ini" gumamku, ini semua tenaga kesehatan. Memang sebelum saya putuskan ikut pelatihan ini sebenarnya saya sempat SMS Alifah, biasa saya panggil Ipeh, seorang dokter yang juga kenal melalui aplikasi Yahoo Messenger, dia dari Jogja dan lulusan Kedokteran UGM. "Laktasi itu menyusui, memberi ASI," SMS dia singkat menjelaskan tentang Laktasi.

Jangan-jangan selama ini saya salah interpretasi menyusui dengan bagi-bagi susu? tetapi ini baru kenalan kok, saya masih yakin dengan bagi-bagi susu.

"Saya Wawan Sugianto, Saya Filsafat Al-Azhar, Kairo, Bapak saya memberi nama Wawan Sugianto gk tau bu," Giliran saya berkenalan, "Nanti ditanya ya, penting lho" jawab dr. Utami.

Part 2 : Bagaimana Saya Terjun di Dunia Menyusui (2) : Memulai dengan Kebingungan

Wednesday, March 06, 2019

Bagaimana Saya Terjun di Dunia Menyusui (2) : Memulai dengan Kebingungan



Hari itu juga, saya langsung menghubungi sahabat saya di jakarta, Nanda Adi Gazali, namanya. Seorang "donatur" tetap saya waktu di Kairo. Bagi mahasiswa kere dan tidak mendapat kiriman uang orang tua seperti saya, hampir tidak mungkin untuk mampu menyewa atau tinggal di apartemen di kota Rob'ah, Nasr City, Kairo. Tetapi karena sebagian saya dibayarin Nanda, jadi saya bayar ringan sekali waktu itu.

"Ok dari stasiun Senen Lo naik KRL aja, turun di stasiun Kebayoran Lama, ntar gue jemput." Balasan SMS dari Nanda. Alhamdulillah ada tempat untuk menumpang di Jakarta.

Singkat cerita, hari Ahad pagi saya berangkat ke Jakarta naik kereta api, saat itu pemesanan tiket belum sebagus sekarang, masih dijual langsung dan biasanya saya selalu dapat tiket "Tanpa Tempat Duduk." apalagi hari Ahad, bisa dibayangkan kan bagaimana kondisi kereta api saat itu yang ajaib banget.

Sesuai arahan Nanda Setelah sampai Stasiun Pasar Senen di Jakarta, saya langsung menuju Kebayoran Lama, kira-kira pukul 18.00 sampai di rumah Nanda di daerah Cidodol. Kami makan malam dan ngobrol dengan keluarga Nanda, alhamdulillah mereka welcome sekali. Saya merasa sangat tersanjung dan berhutang budi sama Nanda dan keluarganya, semoga Allah memberi balasan pada mereka.

Keesokan harinya, pagi-pagi saya sudah siap, tetapi masih menunggu Nanda dan Bapaknya, karena beliau mau antar saya ke dekat tempat pelatihan, "Biar kamu gak bingung dan gk terlambat" kata Bapak waktu itu. Kebetulan arah Tanah Abang juga searah dengan kantor beliau, saya diantar sampai di perempatan Slipi. Lanjut menggunakan angkot menuju Wisma Guru. Nanda dan Bapak langsung menuju Mampang.

Sesampainya di Wisma Guru, saya kaget, bahkan kuuuaaget, kok hampir semuanya perempuan, hanya ada 1 laki-laki yang saya lihat pertama kali. dia sedang ngobrol dengan beberapa perempuan muda dengan hijab dan dengan pakaian yang rapi-rapi sekali, kelihatan kalau mereka anak-anak kota sepertinya.

Tapi yang jadi pertanyaan, inikan pelatihan untuk jadi relawan, tanggap bencana, bagi-bagi susu, ke pelosok tempat bencana, kenapa yang ikut banyak perempuan? Yang tambah saya makin bingung, mereka semua sudah saling kenal. Sekelompok duduk di depan pintu masuk Wisma Guru, sebagian lain bercengkrama sambil berdiri, ada yang di lobi, tangga, maupun di depan kelas, mereka berkelompok kecil-kecil antara 3-6 orang, ketawa-ketawa, ngobrol asik, dan bersenda gurau.

Hanya saya aneh sendiri, tidak ada satupun orang disana yang saya kenal, bahkan Ocha yang mana juga saya tidak tahu, karena belum pernah ketemu sebelumnya.

"Mba kenal Ocha?" tanya saya pada salah satu kelompok peserta yang asik ngobrol di taman depan Wisma, "iya kenal mas, tapi dia belum datang" jawabnya singkat, sambil melanjutkan ngobrol dengan teman-temannya yang lain, seakan tidak peduli bahwa saya sedang bingung.

Baru kali ini saya merasa berada di "lingkungan yang bukan gue banget," kalau bukan karena akan jadi manajer, saya mungkin sudah pulang lagi.

Saya langsung menuju ke lantai dua tempat pelatihannya nanti, di depan pintu saya disapa oleh bagian pendaftaran "Nama siapa mas,"  "Wawan Sugianto, bu," jawab saya. Ternyata nama saya sudah terdaftar "tanda tangani disini mas, ini alat tulis untuk pelatihan," katanya sambil menyodorkan map plastik warna kuning transparan, saya bergegas masuk ke kelas sambil senyum-senyum menyapa peserta lain yang sudah terlebih dahulu berada di dalam, sambil mengangguk kecil dan senyum semanis saya bisa untuk menyapa yang saya lewati "eeehmm, bu" "eeheemm mba." tetapi mereka hanya membalas dengan senyuman dan anggukan ringan, sambil tetap fokus ngobrol dengan temannya.

Saya langsung cepat cari tempat duduk di belakang, menyendiri dan sendirian aja lagi. Map warna kuning itu saya buka ternyata berisi Jadwal pelatihan, 1 pulpen, 1 pensil, 1 penghapus, 1 serutan dan block note, tidak ada pengantar pelatihan, modul atau apapun. "Katanya pelatihan, kok gk ada bukunya" saya cuma bergumam dalam hati, tidak berani bertanya apa-apa.

Saya baca judul jadwalnya "Pelatihan Konseling Laktasi Modul 40 Jam, WHO/UNICEF" wih sangar, bagi-bagi susu aja melibatkan organisasi PBB, ada WHO dan UNICEF, pasti keren banget. Pikiran saya melayang entah kemana, membayangkan jadi manajer bagi-bagi susu di pedesaan, dengan dasi dan sepatu pantopel yang necis, keren banget pastinya. eh iya Ocha, mana Ocha? tengok kiri kanan mencari dimana orang yang bernama "Ocha" itu berada. tentu saya penasaran banget juga sama Ocha, orangnya yang mana yak?

Part 3 : Bagaimana Saya Terjun di Dunia Menyusui (3) : Perkenalan yang Membuat Saya Jantungan

Bagaimana Saya Terjun di Dunia Menyusui (1) : Berawal dari Ketidaktahuan


Tahun 2006 silam, saya memutuskan pulang ke Indonesia, setelah 5 tahun berkelana di Mesir. Kadang sebagai mahasiswa al-Azhar, kadang sebagai penjual tempe, kadang jaga warnet, kadang tukang numpang makan di rumah Maman KPJ, bantuin ngabisin makan di rumah makan Delli milik bang Rozel, ya yang penting bertahan hidup di negeri Firaun, lah.

Pada akhir Mei 2006 saya sudah berada di Jogja, waktu itu lagi lewat, kebetulan lagi mengurus berkas calon mahasiswa baru dari Gontor. Waktunya tidak lama setelah gempa dahsyat. Sebenarnya saya menawarkan diri untuk menjadi relawan, tp tidak tahu harus mengerjakan apa? melihat posko Gontor, udah penuh oleh alumni. akhirnya saya hanya mampir di kosan Lubis Budianto, seorang legenda X-KDR.

Pagi menjelang siang, waktu itu matahari malu-malu untuk menyapa umat manusia tiba-tiba "nit nit, nit nit," Nokia 7210 saya berbunyi, seorang kawan yang saya kenal melalui aplikasi chating Yahoo Messanger (YM) mengirim saya SMS, sebut saja namanya Ocha, sebuah nama panggilan.

Ocha dahulu saya kenal sebagai mahasiswa Kedokteran Gigi di UI. komunikasi kami hanya lewat YM atau mIRC. Sampai Allah takdirkan saya memiliki HP, barulah bisa melalui SMS.

Dalam SMSnya dia mengajak untuk menjadi Relawan Laktasi di Gempa Jogja dan Klaten. Antara senang akhirnya bisa jadi relawan, dan bingung karena saya tidak tahu artinya laktasi. Bagaimana bisa tahu, saya tidak mengenal istilah medis, baru pulang dari Kairo, belum menikah, dan masih sangat muda lah, waktu itu umur saya masih 25 tahun.

"Laktasi itu menyusui, Bang," Jawab Ocha singkat. Mendengar jawaban itu saya agak kaget, bingung, dan merasa aneh, hati kecil saya berkata "Apa hubungannya bencana gempa dengan menyusui?," Saya husnudzon dan yakin yang dimaksud Ocha adalah "Bagi-bagi Susu Formula untuk bayi."

"Tapi ada pelatihannya dulu bang," lanjut Ocha dalam SMS berikutnya, "katanya sih sekitar 6 hari, trus nanti baru dikirim ke Jogja dan Klaten," jelasnya rinci.

Untuk bagi-bagi susu saja harus ada pelatihan 6 hari, tidak boleh bolos dan di Jakarta. Ini membuat saya berfikir keras tetapi juga senang.  karena hatiku berkata "Pasti nanti saya jadi salah satu manajernya." bagi saya ini akan jadi pengalaman yang keren, dapat kerja langsung jadi manajer, perusahaan Jakarta pula. kece badaii...

"Tapi ini mendadak bang, hari Senin besok kita mulai, pelatihannya di Wisma Guru, Tanah Abang, jam 08.00 harus sudah ada disana, langsung absen dan mulai pelatihan, kira-kira bisa?" Tanya Ocha untuk memastikan kesanggupanku, tanpa ragu ku balas "Yaa... Bisa, Ocha."

Padahal, waktu itu hari Jum'at, artinya saya harus segera beli tiket ke Jakarta, dan cari tumpangan nginap disana, karena hampir pasti saya tidak mampu bayar hotel untuk nginap 6 hari di Ibu Kota.

Part 2 - Bagaimana Saya Terjun di Dunia Menyusui (2) : Memulai dengan Kebingungan

Tuesday, June 03, 2014

Ibu Menyusui Indonesia makin sadar

Semakin gencarnya promosi menyusui yang dilakukan di Indonesia, diiringi mulai menjamurnya organisasi atau perkumpulan yang memiliki kesamaan minat untuk mendalami, mempromosikan dan berbagi tentang menyusui ternyata tidak serta merta meningkatkan cakupan informasi menyusui pada masyarakat.

Monday, May 26, 2014

ASI Eksklusif dan Lemahnya Visi BLSM

Mungkin anda pernah alami peristiwa ini. Saat mengendarai sepeda motor di Yogya, saya berhenti lantaran lampu lalu lintas berganti merah. Seketika saya dihampiri seorang wanita menggendong bayi, tangan kirinya menggenggam botol berisi susu. Saya menerka susu itu dibuat tidak sesuai takaran, karena warnanya yang relatif bening tapi putih. Kemudian saya sodorkan uang sambil bertanya, “Ibu, bayinya diberi susu botol ya?” Ibu itu hanya tersenyum sambil pindah ke pengendara motor lain.

Ibu itu hanya satu dari jutaan lainnya, karena 80 persen ibu-ibu negeri ini menganggap pemberian susu formula suatu keharusan. Masif dan memikatnya promosi susu formula lewat berbagai media beberapa dekade ini, sangat berhasil meyakinkan masyarakat bahwa susu formula dapat menggantikan Air Susu Ibu (ASI) sebagai kebutuhan nutrisi cair bayi sampai dua tahun.

Keluarga prasejahtera bahkan miskin sekalipun banyak meninggalkan ASI demi tercapainya anak idaman seperti divisualisasikan dalam iklan. Model bayi imut yang cerdas, ceria dan gemuk, juga iming-iming manfaat kesehatan fisik dan psikis, disajikan setiap waktu melalui televisi, radio, poster, dan baliho. Tagline “Life Ready” yang asing bagi kita ditayangkan dengan menarik. Seakan menanamkan pesan “minumlah susu ini maka anak anda akan siap menghadapi hidup”.

Media sudah melakukan apa yang disebut Paul Jhonson sebagai distorsi informasi (Jhonson, 1997:103), yaitu praktek penyimpangan dengan cara mengurangi hal yang penting atau menambahkan hal yang tidak penting bagi publik. Secara teknis hal ini sering dilakukan dengan modus pencampuran antara fakta dan realitas. Dalam konteks ini, media ikut menghadirkan kebutuhan palsu, seakan susu formula itu adalah kebutuhan, padahal tidak.

Bisnis susu formula memang sangat menguntungkan. Pada tahun 2008 saja keuntungannya US $ 11.5 milyar dan diproyeksikan akan meningkat sampai 37% pada 2013 ini hingga US $ 42,7 milyar, dan Indonesia menjadi salah satu penyumbang paling besar sebanyak US $ 1.1 milyar. Dengan budget yang unlimited untuk promosi mereka sanggup membuat cara pandang baru; bahwa ASI saja tidak cukup, bahwa menyusui tanpa tambahan susu formula itu kurang, bahwa ASI dan susu formula itu sama saja. Berbanding terbalik dengan promosi menyusui yang hanya disosialisasikan seadanya tanpa kekuatan finansial dan visual yang menarik.

Sepertinya ini yang dimaksud Paul Jhonson dengan ‘Tujuh Dosa yang Mematikan’ (seven deadly sins) yang dilakukan oleh media. Salah satunya dramatisasi fakta palsu. Praktek penyimpangan ini bertumpu pada kekuatan narasi dari narator. Pilihan kata hiperbolik menjadi teknik yang sering dipakai. Untuk menambah dramatis intonasi narator menjadi penting. Dramatisasi menjadi lebih berisi dan seakan adalah kebenaran saat dipadu dengan gambar animasi atau ilustrasi. Umumnya industri televisi berkelit hal itu dilakukan karena kekuatan media televisi terletak pada kekuatan gambar.

Imbas promosi mereka masif, tidak pandang bulu. Kaya, miskin, tua, muda, ibu hamil, ibu menyusui, di kota ataupun di desa, semua terjangkiti promosi mereka. Dampak buruknya ketika sebagian orang miskin tidak mampu menyajikan susu formula sesuai anjuran – seperti peminta-minta tadi – akan mengencerkan dan menyajikannya dengan botol yang kebersihannya tidak dapat dijamin.
BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat)
Bantuan Langsung Sementara Masyarakat. foto: Tribunnews.com
Bantuan Langsung Sementara Masyarakat. foto: Tribunnews.com

Angka kemiskinan di Indonesia masih tinggi, pengentasan kemiskinan menjadi program utama pemerintah setiap periodenya, baik pemerintah pusat sampai daerah. Bahkan ketika harga BBM harus naik, pemerintah bersedia menggelontorkan dana kompensasi yang mencapai Rp 11,6 triliun, meski akhirnya dipotong menjadi Rp 9,32 triliun untuk empat bulan. Dengan proyeksi Rp 150 ribu per keluarga setiap bulan selama 4 bulan untuk 15,5 juta rumah tangga sasaran.

Bantuan itu sangat membantu bagi sebagian masyarakat, paling tidak untuk beberapa bulan, tetapi saya melihat bahwa Indonesia sedang dijajah informasi yang membuat rakyat dipaksa untuk miskin, atau mungkin kebijakan-kebijakan negara ini diproyeksikan agar rakyatnya miskin. Kebanyakan rakyat kita dipaksa membeli kebutuhan sekunder dan alternatif menjadi kebutuhan primer, termasuk membeli susu formula.

Pertemuan dengan peminta-minta itu menggelitik saya. Malam harinya saya bersama istri melakukan survei kecil harga susu formula di sebuah toserba, dengan target susu bayi dengan label 0-6 bulan berukuran dos 400 gram. Kami temukan harganya berkisar Rp 30.300 sampai Rp.93.900. Kebutuhan bayi 0-6 bulan kalau sesuai dengan takaran dalam pembuatannya adalah 55 dos susu bubuk 400 gram perbulan.

Angka kelahiran bayi di Indonesia mencapai 4.5 juta bayi, dengan angka kematian 37 per 1000 kelahiran hidup, artinya sekitar 4,35 juta bayi hidup dan membutuhkan menyusui. Andai mereka semua meminum susu formula dengan harga paling murah akan dibutuhkan uang Rp. 7,25 triliun, sedangkan bila menggunakan susu yang dengan packaging yang lebih branded Rp. 93.900 maka dibutuhkan Rp. 22,46 triliun. Kita dapat membandingkan dengan BLSM yang digelontorkan pemerintah, Rp. 9,32 triliun?

Pikiran saya kembali ke peminta-minta itu atau keluarga prasejahtera dan miskin. Apabila kebutuhan keluarga 55 dos susu formula dalam 6 bulan dikalikan harga susu terendah saja Rp. 30.300, artinya dibutuhkan Rp. 1.666.500. BLSM yang hanya Rp. 600 ribu (untuk 4 bulan) perkeluarga tidak akan dapat memenuhi kebutuhan susu formula selama 6 bulan, itu belum dihitung dengan kebutuhan primer lain.

Saya meyakini menyusui atau ASI adalah satu-satunya nutrisi cair mamalia apapun. Mendapat ASI adalah hak bayi, jika kita mendukung ibu untuk menyusui, menolong bayi untuk mendapat makanan satu-satunya yang tepat untuknya, maka berarti kita juga membantu keluarga secara keseluruhan, dan membantu bangsa Indonesia untuk mendapat informasi yang tepat dan merdeka dari penjajahan pemiskinan.

Saturday, February 02, 2008

MENYUSUI :Warisan Budaya atau Kebutuhan?(1)

SEBUAH KAJIAN FILSAFAT...

INTISARI

Saat kita bertanya kepada kawan atau kerabat “Mengapa menyusui?” mungkin jawaban singkat akan kita dapat, yaitu “Karena ini sudah menjadi tradisi”. Tradisi memang sebuah produk dari kehidupan, interaksi antara manusia menghasilkan satu gagasan bersama yang membuahkan paradigma plural, itulah realitas kehidupan. Intuisi lahir sebagai landasan pokok pengetahuan baik dan buruknya realitas kehidupan dan alam semesta. Ini terlahir karena usaha manusia untuk memahaminya. Meskipun pada akhirnya manusia hanya mengira-ngira tanpa memahami mengapa harus memberikan ASI bukan makanan lain, misalnya. Permasalahannya akan pelik apabila manusia melakukan satu tradisi tanpa mengetahui alasan dibalik itu sehingga diperlukan sebuah kajian filosofis mengenai pentingnya memberikan ASI.

PENDAHULUAH

ASI atau Air Susu Ibu merupakan fenomena alami yang luar biasa. Saat jabang bayi dilahirkan ASI-lah makanan awal yang diberikan sebagai penopang kebutuhan energi manusia untuk dapat bertahan hidup. Menyusui merupakan kegiatan turun-temurun antar generasi. Seorang ibu punya kewajiban untuk menyusui bayinya. Tetapi kenapa harus menyusui? Kenapa keluar air dari payudara perempuan? Apa yang membuat ASI keluar dari payudara ibu?.

Sebagai mahluk yang berfikir, merasa dan mengindra, manusia memang diproyeksikan untuk mencari tahu, meskipun harus dimulai dari keragu-raguan bahkan mitos, karena toh tidak ada kebenaran yang mutlak. Semua apa yang dialami, dilihat, dicium, dirasa adalah media untuk mencari tahu ada apa di balik semua itu. Rasa ingin tahu inilah yang mengantarkan manusia untuk berfikir kritis empiris.

Selain itu manusia selalu harus mengembangkan apa yang diketahuinya, untuk mengatasi kebutuhan hidupnya, tidak hanya tahu seorang ibu harus menyusui, tetapi kebutuhan kepada menyusui. Karena pada hakekatnya manusia itu bukan hanya sekedar hidup, tapi mempunyai tujuan yang harus digapai. Ini sebenarnya keunikan manusia dari makhluk lainnya. Dengan bermodalkan bahasa sebagai alat komunikasi manusia dapat mengembangkan pengetahuannya. Karena tidak ada hewan yang mengeluh “ASI saya kurang?” “Kenapa saya tidak bisa menyusui?” atau bertanya “Bagaimana biar ASI saya banyak?”. Dari transformasi informasi antar manusia inilah timbul akumulasi ide, sehingga memantapkan pengetahuannya untuk mengembangkan pengetahuan dan kehidupannya. Dan meyakini bahwa apa yang selama ini dilakukan itu satu kebenaran.

Peradaban manusia dari tahun ke tahun, dari abad ke abad selalu berubah, begitu juga pengetahuan, lahir dan berkembang terus menerus, kendatipun ilmu didasarkan pada kerangka objektif, rasional, sistematis, logis dan empiris, dalam perkembangannya ilmu tidak mungkin lepas dari mekanisme keterbukaan terhadap koreksi. Agust Comte merumuskan ada tiga jaman dalam perkembangan pengetahuan manusia yaitu teologis, metafisis dan positif. Pada jaman teologis diyakini adanya kuasa-kuasa supernatural atau adikodrati yang mengatur semua gerak dan fungsi semua gejala alam ini. Keluarnya ASI adalah manifestasi kekuatan “luar biasa” diatas kekuatan insani yang kemudian pada jaman metafisis kuasa adikodrati itu mulai digantikan dengan konsep-konsep abstrak seperti halnya kodrat dan penyebab. Sampai pada jaman positif manusia telah mulai membatasi diri dengan fakta yang tersaji dan menetapkan hubungan kausalitas.

Semua ini timbul karena keingintahuan manusia menyikap tabir alam semesta, disinilah filsafat berperan membuka tabir realitas alam semesta. Tetapi kita selalu dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan pelik atas apa yang kita ketahui, yaitu : “Apa hakekat pengetahuan itu?”, “Bagaimana kita tahu bahwa apa yang kita anggap pengetahuan itu adalah pengetahuan?” dan “Bagaimana kita bisa membuktikan bahwa apa yang kita anggap sebagai pengetahuan itu benar-benar pengetahuan?”. Jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini sangat dipengaruhi oleh cara pandang kita yang akan menentukan sikap dan perilaku kita.

Tapi, Sayangnya diantara kita masih acuh, dan menerima begitu begitu saja tanpa pernah mengkritisi hakikat dari apa yang telah dilakukan, ini terjadi karena beranggapan bahwa lakukan saja karena orang-orang sebelum kita pun melakukan hal itu. Meskipun kadang mereka tidak punya landasan atau alasan kuat kenapa melakukan sesuatu.